Monday, December 19, 2016

Sejarah Singkat Pertempuran Surabaya 10 november 1945

Latar Belakang Pertempuran Surabaya 10 november 1945

Hari pahlawan diperingati karena adanya Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Rakyat Indonesia larut dalam euforia kebahagian kemerdekaan setelah diproklamirkan dan disebarkannya informasi kemerdekaan republik Indonesia ke seluruh daerah di Indonesia pada 17 Agustus 1945. Mereka tidak menyadari bahwa perjalanan republik itu masih panjang dan terjal. Dwitunggal Soekarno dan Hatta menyadari bahwa Belanda dan tentara sekutu yang berhasil mengalahkan Jepang dalam perang Asia Timur Raya akan kembali menduduki Indonesia.

Setelah berhasil menduduki Jepang, Sekutu yang tergabung atas berbagai negara Eropa dan Amerika berbagi tugas. Amerika Serikat bertugas mengamankan Jepang, sedangkan untuk daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia diserahkan kepada Inggris. Belanda dalam hal ini NICA berusaha ikut ambil bagian dalam mengamankan Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Belanda yang memboncengi Inggris dalam misi mengamankan Asia Tenggara masih berniat untuk mengembalikan kekuasaannya kembali di Indonesia, seperti sebelum terlibat perang dunia II dan dipukul mundur dari Indonesia oleh pasukan Jepang pada tahun 1942. Ditambah lagi hasil perjanjian Postdam yang dibuat Amerika Serikat, Perancis dan Inggris yang menyebutkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Sekutu diberi hak untuk memperoleh kembali daerah jajahannya. Atau dengan kata lain Belanda dapat dengan legal menjajah Indonesia kembali.

Keinginan Belanda ini sungguh sangat bertentangan dengan hasil perjanjian Chequers pada 14 Agusuts 1941 yang diusung oleh Presiden Amerika Serikat Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, yang melahirkan Atlantic Charter. Isi dari Atlantic Charter yaitu kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan mewujudkan perdamaian dunia. Sungguh ironis, justru pihak sekutu dan Belanda khususnya ingin kembali menjajah Indonesia serta membunuh ribuan rakyat Indonesia dalam agresi militernya.

Pasukan Inggris berkebangsaan India (Gurkha) berhasil mendarat di Jakarta dibawah pimpinan Mountbatten pada tanggal 30 Oktober, kemudian disusul pada 20 Oktober di daerah Semarang, di Surabaya pada 25 Oktober, di Medan pada 10 Oktober dan di Palembang pada 25 Oktober. Pada awalnya sekutu khususnya Inggris membatasi tindakan-tindakan pasukannya untuk tidak terlalu jauh melakukan peperangan seperti yang diharapkan NICA. Pihak Inggris hanya melakukan pelucutan senjata-senjata pasukan Jepang dan membebaskan tawanan-tawanan perang Jepang. Namun di beberapa kota seperti di Jakarta serdadu NICA selalu melakukan provokasi dan tindakan kekerasan terhadap rakyat Indonesia. Bahkan Jenderal Sir Philip Christison yang berada di Singapura mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk tidak mencopot pemimpin republik Indonesia seperti Soekarno dan Hatta. Sebaliknya Christiton meminta kepada pemimpin republik dan pemimpin partai untuk menyambut pasukan Inggris dengan baik serta bekerja sama dalam melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan perang.

Namun tindakan kekerasan pasukan NICA yang dilakukan  kepada rakyat Indonesia semakin menambah konflik antara rakyat Indonesia menjadi meluas. Di Pekalongan rakyat Indonesia dibantai oleh polisi militer Jepang yang masih berkuasa. Rentetan perisitiwa memilukan ini semakin menambah kemarahan rakyat terhadap kaum penjajah.

Pertempuran Surabaya 10 november 1945

Tanggal 10 November adalah tanggal bersejarah untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Sebab peristiwa 10 November adalah peristiwa agung dimana diabadikan sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Hal ini memanglah pantas mengingat kegigihan perjuangan rakyat Surabaya melawan Sekutu yang mencoba menapakkan kakinya kembali, ingin merebut bangsa ini. Padahal pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia saat itu sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Disaat itulah perjuangan rakyat Surabaya dengan segenap jiwa, raga, harta, darah, dan nyawa, ditumpahkan demi tegaknya NKRI.

Perjuangan warga Surabaya boleh dikatakan adalah perjuangan total. Banyak sekali rentetan peristiwa yang saling sambung-menyambung membentuk mata rantai yang tiada putus dalam perjuangan arek-arek suroboyo. Awal mulanya adalah peristiwa Insiden Bendera di Hotel Yamato pada Rabu wage, 19 September 1945. Saat itu adalah masa kehadiran sekutu dan Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic, adalah salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase. Dengan memakai kedok Petugas/Organisasi Palang Merah Internasional (PMI) Belanda dan sekutu beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Pada saat yang sama bendera Belanda dikibarkan di sebelah kanan (Utara) Gapura Hotel Yamato oleh beberapa anggota dari Komite Kontak Sosial.

Hal ini tentu mengundang kemarahan dari para pejuang dan masyarakat Surabaya. Sebab secara tidak langsung mereka akan merebut kembali bangsa Indonesia dan ingin mendirikan pemerintahan kolonial Belanda. Resimen Sudirman akhirnya turun tangan. Beliau mendatangi sekutu dan meminta untuk menurunkan bendera itu. Hal ini tidak diindahkan oleh mereka, malah Sudirman ditodong dengan pistol revolver oleh salah seorang Belanda. Tentu hal ini semakin memanaskan suasana terutama untuk rakyat Surabaya. Sehingga muncullah perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang sekutu/Belanda berhadapan dengan massa, yaitu rakyat/pemuda Surabaya yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya. Buntut dari perkelahian ini adalah disobeknya bendera berwarna biru oleh pemuda Surabaya. Meskipun rakyat Surabaya kehilangan 4 pahlawan yaitu Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono yang gugur sebagai kusuma bangsa.

Pasca Insiden 19 September 1945 di hotel Yamato itu, semangat rakyat Surabaya untuk mempertahankan NKRI semakin menjadi-jadi. Hal ini dibuktikan dengan penyerbuan pada gedung Kenpetai pada tanggal 2 Oktober 1945. Gedung Kenpetai adalah tempat penyiksaan para pejuang rakyat Surabaya. Ditempat itulah para pejuang dan rakyat Surabaya disiksa habis-habisan oleh tentara Jepang. Hal inilah yang menjadikan motif penyerbuan pada gedung Kenpetai. Dan tepat pada 2 Oktober 1945 arek-arek Surabaya dengan gagah berani mengepung Gedung Kenpetai dan terjadilah pertempuran yang berakhir pada pukul 16.00 setelah para pejuang melihat Bendera Jepang Hinomaru diturunkan sendiri oleh Takahara, komandan Kenpetai. Dari pertempuran ini rakyat Surabaya berhasil melucuti sejumlah kurang lebih 22.887 senjata. Belum termasuk perangkat persenjataan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Adapun prestasi lain adalah direbutnya gedung Kenpetai oleh rakyat Surabaya yang adalah bukti kemenangan besar.

Sampai disini perlawanan rakyat Surabaya masih belum berakhir. Bangsa Belanda ternyata masih menapakkan kakinya di bumi Surabaya. Tentu hal ini semakin memanaskan api kebencian rakyat. Perlawanan rakyat Surabaya pun terus dilakukan walaupun nyawa taruhannya. Dan pada 30 Oktober 1945 sebuah peristiwa besar terjadi yaitu terbunuhnya Brig. Jend. Mallaby di dekat Jembatan Merah. Peristiwa ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada kronologis kejadian yang saling berantai.
Sejarah Singkat Pertempuran Surabaya 10 november 1945

Diawali dengan diadakannya pertemuan antara Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, Menpen Amir Syarifuddin, Gubernur Soerjo, residen Soedirman dengan Mayjen D.C. Hawthorn, pimpinan tentara Sekutu di Jakarta pada 30 Oktober 1945. Salah satu hasil pertemuan itu adalah dibentuknya Kontak Komisi, yang diharapkan dapat mempermudah hubungan kedua belah pihak juga disetujui agar tembak-menembak antar kedua belah pihak dihentikan. Namun yang terjadi di lapangan sebaliknya, tembak-menembak terus berlangsung. Sehingga diputuskan agar para anggota Kontak Komisi turun ke lapangan diantaranya dengan mengunjungi daerah Jembatan Merah. Disitu terletak gedung Internatio, yang adalah markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya.

Sampai di Jembatan merah ternyata gencatan senjata terjadi. Hal ini sebab arek-arek Surabaya sudah menanti anggota Kontak Komisi yang diantaranya adalah Brig. Jend. Mallaby. Tepat sekitar pukul 20.30 mobil yang ditumpangi Brig. Jend. Mallaby meletus dan Mallaby pun tewas. Peristiwa ini tentu saja semakin membuat rakyat Surabaya optimis untuk kemenangan perjuangan mereka. Namun untuk Sekutu hal ini adalah pukulan luar biasa. Sebab harga diri mereka semakin terinjak-injak. Sehingga melihat hal ini, Mayjen E.C. Mansergh, panglima tentara Sekutu di Jawa Timur pengganti Brig. Jend. Mallaby mengeluarkan sebuah ultimatum pada 9 November 1945 agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.

Ultimatum itu ditolak tegas oleh bangsa Indonesia. Sehingga pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 tentara Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara dengan menggunakan kapal perang, pesawat udara, serta pasukan yang bergerak dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Para pejuang Indonesia mengambil siasat mengundurkan diri dari dalam kota Surabaya dan memilih meneruskan perjuangan dari luar kota.

Intulah sederetan kronologis historis yang mengilhami lahirnya Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. Dari peristiwa ini sesungguhnya banyak makna yang dapat kita petik dan kita tanamakan dalam kehidupan saat ini. Kegigihan perjuangan dan pengorbanan yang tulus adalah sebuah contoh yang mampu kita jadikan referensi untuk kehidupan berbangsa. Ditengah carut-marutnya tatanan negri dan semakin hilangnya semangat perjuangan, kita buka kembali pintu kesadaran tinggi untuk berjuang menata negeri  yang teratur, tertata, dan terarah. Perjuangan yang tulus ikhlas, tanpa banyak tuntutan dan kepentingan, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Belajarlah dari para pahlawan kusuma bangsa yang senantiasa tulus dengan segenap jiwa raga membela tanah air. Mereka tidak memandang kepetingan golongan, tidak mengaharapkan imbalan, serta tidak banyak menunutut. Perjuangan mereka semata-mata demi kehormatan bangsa dan demi tetap tegaknya NKRI. Semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar untuk para penerus bangsa.

Sunday, December 18, 2016

Perlawanan Rakyat Kesultanan Makassar

Perlawanan rakyat Kesultanan Makassar merupakan contoh keberanian rakyat Indonesia yang besar. Kesultanan Makassar sudah menjadi negara maritim dan bandar perdagangan internasional untuk wilayah timur nusantara sejak abad ke-17. Kesultanan Makassar sudah menjalin hubungan perniagaan secara bebas dengan negera-negara di Eropa, seperti Denmark, Perancis, Inggris, dan Portugis. Sejak kedatangan VOC yang melakukan sistem monopoli dalam perdagangannya, membuat perniagaan Makassar terganggu dan mengalami kemunduran. Oleh sebab itu, Kesultanan Makassar sangat menentang keras monopoli VOC itu dengan cara-cara berikut.
  1. Makassar melaksanakan pembelian rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari rakyat yang diduduki VOC, selain itu menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat.
  2. Makassar senantiasa menjual rempah-rempah kepada semua bangsa yang membutuhkan dan ingin membelinya.
  3. Makassar turut menolong rakyat Maluku yang sedang berperang melawan VOC, seperti di Ternate dan Ambon.
Perlawanan Rakyat Kesultanan Makassar

VOC merasa terganggu dan tersinggung dengan sikap penentangan yang terang-terangan dari Makassar, dan perdagangan rempah-rempahnya terancam oleh sikap itu. Oleh sebab itu, VOC beranggapan bahwa Kesultanan Makassar wajib ditaklukkan.

Karena ada perselisihan antara Sultan Makassar, Hasannudin, dan Sultan Bone, Aru Palaka, maka Belanda memanfaatkan hal ini untuk menyerang Makassar dengan hasutan dan politik adu domba yang licik, akhirnya VOC berhasil memengaruhi Sultan Bone untuk bersama-sama menentang Makassar. VOC melancarkan serangan hebat ke Makassar pada Tahun 1666.

Makassar diserang  habis-habisan dari bermacam-macam penjuru, baik dari darat atau dari laut.  Di bawah pimpinan Cornelis Speeluran, Kota Makassar diblokir oleh pasukan VOC, lalu menembakinya dari laut. Menghadapi serangan itu, Sultan Hasanuddin melaksanakan perlawanan yang gigih. Segenap kekuatan Makassar dia kerahkan. Namun, karena kekuatan VOC yang dibantu oleh Aru Palaka jauh lebih besar, akhirnya pasukan Sultan Hasanuddin dipaksa menyerah. Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1667 di Bongaya. Perjanjian itu dinamakan Perjanjian Bongaya.

Isi Perjanjian Bongaya itu adalah sebagai berikut.
  1. Hasanuddin mengakui VOC sebagai pelindungnya
  2. Kapal-kapal Makassar tidak boleh berlayar di Maluku
  3. Makassar menjadi monopoli VOC
  4. Bugis, Bima, dan Sumbawa diserahkan kepada VOC
  5. Makassar diblokade VOC
Akibat isi perjanjian bongaya itu, rakyat Makassar pada tahun 1669 kembali mengangkat senjata yang dipimpin oleh Kareang Galesung untuk mengusir kekuasaan dan melenyapkan VOC dari Makassar. Namun sebab tidak seimbangnya persenjataan, akhirnya perlawanan rakyat Makassar yang kedua ini pun gagal.

Para pedagang dan pelaut Makassar yang tidak setuju dengan isi Perjanjian Bongaya menyingkir dari Makassar. Mereka menyebar ke berbagai wilayah di nusantara dan selalu mengadakan perjuangan menentang VOC dengan cara: menggangu kapal-kapal dagang VOC yang sedang berlayar, dan menolong setiap perlawanan yang menentang VOC, seperti Banten dan beberapa tempat lainnya di Jawa Timur. Dengan demikian, walaupun sudah kalah, tetapi rakyat Makassar terus berjuang melawan VOC.

Sumber : IPS Terpadu - SMP Kelas VIII

Perlawanan Rakyat Kesultanan Banten Melawan VOC

Perlawanan rakyat Kesultanan Banten saat melawan VOC menjadi sejarah penting dalam menuju kejayaan bangsa Indnesia. Pada jaman dahulu, Kesultanan Banten sudah berkembang menjadi kerajaan yang besar dan berpengaruh, hal itu terjadi disekitar abad ke-16. Wilayah kekuasaannya meliputi sekitar Banten, Jayakarta, sampai ke Lampung. Saat dikuasainya Selat Malaka oleh Portugis. para pedagang Islam yang semula berlayar melalui Selat Malaka tidak mau lagi berlayar melalui selat itu. Mereka lebih memilih berlayar melalui Selat Sunda. Hal ini menyebabkan Banten menjadi bandar perdagangan dan menjadikan Banten sebagai kesultanan yang besar.

Hal tersebut berlangsung sampai tahun 1619, Jayakarta jatuh ke tangan VOCyang membawa akibat tidak baik bagi Kesultanan Banten. Pelayaran dan perdagangan Kesultanan Banten secara perlahan- lahanpun mengalami kemunduran. Setiap kapal dagang yang berlayar melalui Laut Jayakarta selalu diperiksa dan dipaksa berlabuh di Jayakarta, terlebih lagi setelah jatuhnya Selat Malaka ke tangan VOC pada tahun 1641.

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten (1651-1682), Kesultanan Banten sedang berada dalam kemunduran. Untuk  memulihkan kejayaan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengambil kebijakan untuk menjalankan perdagangan bebas. Para pedagang yang mau berlabuh di pelabuhan Banten diberikan keringanan pajak dan jaminan keamanan. Akhirnya, sejak Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten, pelabuhan Banten kembali ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik dari nusantara atau luar negeri, seperti Portugis, Perancis, Inggris, dan Denmark. Terlebih setelah jatuhnya Makassar ke tangan VOC tahun 1667, banyak pelaut dan pedagang Makassar yang berniaga dan singgah di Banten. Sultan Ageng dengan giat membangun perniagaan rakyat Banten, dengan memajukan armada dagang. Untuk itu, dibangunlah armada dagang Banten yang besar, sehingga mampu melaksanakan perniagaan dengan negara-negara lain, seperti Persia, Arab, dan Cina.

Perlawanan Rakyat Kesultanan Banten Melawan VOC
Sultan Ageng Tirtayasa
Kemajuan Banten di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi ancaman tersendiri untuk VOC, sebab Banten memberlakukan perdagangan bebas. Sebaliknya, bercokolnya VOC di Jayakarta adalah batu perintang yang besar untuk Banten. Hal ini sebab kapal-kapal dagang yang akan berlabuh di Banten selalu diganggu oleh pelaut-pelaut VOC. Oleh sebab itu, antara Banten dan VOC terlibat perang dingin dan saling mencari waktu yang tepat untuk menyerang. Namun, saat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kesultanan Mataram) sedang melaksanakan perlawanan yang dipimpin Trunojoyo, Sultan Ageng tidak menggunakan kesempatan untuk menghancurkan kedudukan VOC di Jayakarta. Padahal kedudukan VOC saat itu sangat lemah.

Sebaliknya, VOC lebih pandai memanfaatkan kesempatan yang terbuka di depan mata. Ketika di Banten terjadi pertentangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji anaknya, secara diam-diam VOC menjalin hubungan dengan Sultan Haji. Tentu saja hal ini menimbulkan keberanian Sultan Haji, dia tidak segan-segan dan takut-takut lagi untuk berperang dengan Sultan Ageng ayahnya sendiri dan adik-adiknya dengan pertolongan persenjataan dari VOC. Akhirnya, Sultan Ageng kalah dalam perang tersebut dan turun tahta. Selanjutnya, Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikannya, VOC menuntut Sultan Haji menandatangani perjanjian yang sangat merugikan rakyat Banten. Secara ringkas isi perjanjian itu sendiri seperti berikut.
  1. Bangsa Inggris tidak boleh berniaga di Banten, sebab waktu itu Inggris sering berlabuh dan berniaga di Banten.
  2. Perdagangan Banten terutama ekspor lada dimonopoli oleh VOC.
Sejak perjanjian itu ditandatangani pada tahun 1682, Kesultanan Banten sudah kehilangan kejayaan, bahkan kedaulatannya. Sultan Haji yang memerintah tidak lebih dari boneka yang menjalankan semua kebijakan VOC dan Banten terus membara.

Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Zainul Arifin pada tahun 1733 yang sangat dipengaruhi istrinya, yaitu Ratu Fatimah Syarifah, yang sangat populer di kalangan VOC. Pada saat itu Sultan Zainul Arifin mengangkat putranya Pangeran Gusti menjadi putra mahkota dengan persetujuan VOC, tetapi pengangkatan ini tidak berkenan untuk Sang Ratu. Ratu Fatimah menghendaki menantunya, Pangeran Syarif Abdullah menjadi putra mahkota. Sultan Zainul Arifin yang dipengaruhi istrinya mengalah dan berniat mencabut kembali pengangkatan Pangeran Gusti yang sudah dilakukannya. Untuk itu, Sultan Zainul Arifin meminta persetujuan VOC.

Memperoleh perlakuan seperti itu, tentu saja Pangeran Gusti tidak menerima. Dia kemudian menyingkir ke Batavia, tetapi atas desakan Ratu Fatimah Syarifah, Pangeran Gusti oleh VOC dibuang ke Sailan (Srilangka). Sementara itu, Sultan Zainul Arifin ditangkap oleh VOC, dengan tuduhan tidak waras (gila), lalu diasingkan ke Ambon. Sebagai pengganti Sultan Banten diangkatlah Ratu Fatimah Syarifah. Atas jasa menggulingkan Sultan Zainul Arifin dan Pangeran Gusti ini,VOC mendapat imbalan berupa tanah di sekitar Cisadane, serta hak atas penambangan emas di Lampung.

Rakyat Banten tidak menerima kepemimpinan Ratu Fatimah Syarifah, sehingga akhirnya meletus pemberontakan Banten yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang menyerang ibu kota Banten dan mengepung istana, sehingga pasukan VOC kewalahan. VOC menyadari bahwa meletusnya perlawanan rakyat sebab ketidaksenangannya pada kepemimpinan Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif. Untuk itu, VOC menangkap Ratu Syarifah dan Pangeran Syarif dengan maksud untuk mengambil hati rakyat Banten. Meskipun keduanya sudah ditangkap, tetapi perlawanan rakyat Banten terus berlanjut.

Pasukan Ki Tapa terus bertempur mengusir VOC dari Banten. Namun, akhirnya, perlawanan Ki Tapa ini pun berhasil dilumpuhkan oleh VOC. Ki Tapa dan Ratau Bagus Buang menyingkir dan meneruskan perlawanannya di daerah Bogor dan Banten selatan.

Sumber : http://ipsgampang.blogspot.co.id/2016/11/perlawanan-rakyat-kesultanan-banten.html

Perlawanan Trunojoyo Melawan VOC

Sebagai anak bangsa yang menghormati pahlawannya, kita pasti kenal dengan Trunojoyo. Beliau adalah Adipati Madura yang tidak menyukai kepemimpinan Sunan Amangkurat I yang memihak Belanda. Oleh sebab ketidakpuasannya itu, Trunojoyo mengadakan pemberontakan yang dimulai dari Madura, ke Jawa Timur hingga ke daerah sekitar Jawa Tengah. Karena begitu dahsyatnya serangan Pasukan yang dipimpin oleh Trunojoyo, akhirnya Keraton Mataram berhasil diduduki dan Sunan Amangkurat I bersama putra mahkota melarikan diri. Oleh Trunojoyo semua harta dan barang pusaka keraton diangkut ke Kediri sebagai pusat perlawanan Trunojoyo.

Pelarian Sunan Amangkurat I bersama putranya memiliki tujuan mencari pertolongan VOC. Namun, dalam perjalanannya menuju Batavia  pada tahun 1677, Sunan Amangkurat I meninggal dunia di Tegal Arum. Kemudian, dia diganti oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat II. Dengan demikian, sejak tahun 1677 Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II. Sunan Amangkurat II lemudian mengadakan perjanjian dengan VOC untuk menolong memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Isi perjanjian itu seperti berikut.
    Perlawanan Trunojoyo Melawan VOC
    Trunojoyo
  1. VOC bebas berdagang di mataram, dan bebas dari kewajiban membayar pajak pelabuhan.
  2. Karawang dan sebagian daerah Priangan yang berada di bawah kekuasaan Mataram diserahkan kepada VOC. Adapun yang menjadi batas wilayah Mataram dangan VOC adalah Sungai Cimanuk.
  3. Daerah Semarang dan sekitarnya diserahkan kepada VOC.
  4. Semua daerah pantai utara Jawa diserahkan kepada VO selama Sunan Amangkurat II belum melunasi biaya perang. 
Atas pertolongan VOC, akhirnya Sunan Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1680. Setelah itu, ibu kota Mataram dipindahkan dari Plered ke Kartasura.

Sumber : http://ipsgampang.blogspot.co.id/2016/11/perlawanan-trunojoyo-melawan-voc.html

Perjuangan Untung Surapati Melawan VOC

Perjuangan Untung Surapati Melawan VOC merupakan peristiwa yang tidak dapat dilupakan dan dapa dijadikan contoh bagaimana semangat juang seorang pangeran dalam kehidupan melawan penjajah saat itu. Pangeran Purbaya, putra kedua Sultan Ageng Tirtayasa saat terjadi perang Banten menyingkir ke daerah Priangan bersama para pengikutnya. Di Priangan mereka mengobarkan perlawanan kompeni dengan pertolongan musuh-musuh kompeni yang berasal dari Makassar.

Pangeran Purbaya menjalankan taktik pura-pura dalam berjuang melawan VOC. Dia mengirimkan kabar ke Batavia yang menyatakan bahwa dirinya bersedia berdamai dengan VOC. Tentu saja kesediaan pangeran Purbaya ini diterima VOC dengan senang hati. Untuk melakukan perdamaian itu, VOC mengutus Surapati, seorang opsir VOC berkebangsaan Indonesia untuk berdamai dengan didampingi oleh Bupati Sukapura dan Demang Timbanganten. Selain mengutus Surapati, VOC juga mengirimkan utusan seorang opsir Belanda. Utusan ini mengemban perintah agar Surapati kembali ke Batavia. Selain itu, kepala pasukan VOC di Priangan juga mengirimkan utusan opsir Belanda yang pangkatnya lebih rendah dari Surapati. Oleh utusan itu, Surapati diperintahkan untuk tunduk. Tentu saja, Surapati merasa terhina, dan akhirnya Surapati menyerang laskar VOC hingga mereka lari tunggang langgang. Surapati melarikan diri ke daerah Karawang, lalu mengembara ke daerah Priangan. Atas perlawanan Surapati itu, VOC mengerahkan pasukannya untuk menangkap Surapati. Surapati tidak mau berhenti, dia terus melanjutkan pengembaraannya hingga sampai ke Kartasura. Perginya Surapati ke Kartasura sebab ia mendengar kabar, bahwa Sunan Amangkurat II berselisih dengan VOC.

Di Mataram, Sunan Amangkurat II merasa berat dengan perjanjian yang dipaksakan dan ditandatangani oleh VOC. Oleh sebab itu, dia tidak mau menepati janjinya. Itulah sebabnya, saat Untung Surapati datang ke Kartasura, Sunan Amangkurat II menerimanya dengan tangan terbuka dengan harapan dapat diajak bekerja sama menentang VOC.

Berita kehadiran Surapati ke Kartasura terdengar Belanda. Untuk itu, VOC berniat menangkap Untung Surapati. VOC lalu mengutus Kapten Tack beserta 150 anak buahnya. VOC meminta Sunan Amangkurat II agar menyerahkan Surapati kepada mereka, tetapi pasukan VOC ditumpas habis. Kapten Tack sendiri terbunuh dalam peristiwa hebat itu. Untung Surapati menyadari bahwa VOC akan membalas kematian laskarnya. Untuk itu, dia menyingkir ke Pasuruan. Di sanalah Untung Surapati diangkat sebagai Adipati Pasuruan dengan gelar Adipati Wiranegara.

Pemberontakan Untung Surapati Melawan VOC
Untung Surapati
Tahun 1708, Sunan Amangkurat II meninggal, dan digantikan oleh putranya bernama Sunan Mas yang bergelar Sunan Amangkurat III yang bertahta dari tahun 1703-1708. Pergantian Sunan Amangkurat II oleh Sunan Mas ternyata tidak direstui pamannya sendiri, yaitu Pangeran Puger. Dia menginginkan dapat menggantikan kakaknya Sunan Amangkurat II menjadi sultan di Mataram. Oleh sebab Sunan Amangkurat III tetap menunjukkan ketidaksenangannya kepada VOC, dalam pertikaian keluarga itu VOC memilih berpihak kepada Pangeran Pugar. Dengan sombongnya, pada tahun 1709, VOC menobatkan Pangeran Pugar menjadi Sultan Mataram dengan gelar Pakubuwono I yang berkuasa dari tahun 1705 sampai dengan tahun 1719, setelah terlebih dahulu Pangeran Pugar mengadakan perjanjian dengan VOC. Adapun isi perjanjian itu ialah sebagai berikut.
  1. Seluruh daerah Priangan dan bagian timur Madura, serta Cirebon diserahkan kepada VOC
  2. Sunan dibebaskan dari semua utang-utangnya terdahulu, dan sebagai gantinya sunan wajib menyerahkan 800 koyan beras setiap tahunnya selama 25 tahun kepada VOC
  3. VOC akan menempatkan pasukannya untuk melindungi Sunan
Sunan Amangkurat III yang ditolong oleh Untung Surapati akhirnya berperang dengan Pakubowono I. Sementara, Pakubuwono I dibantu oleh pasukan VOC. Dalam pertempuran dahsyat itu, Untung Surapati meninggal. Perjuangan Untung Surapati selanjutnya diteruskan oleh kedua putranya hingga titik darah penghabisan.

Sumber : IPS Terpadu - SMP Kelas VIII