Saturday, October 10, 2015

Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme


Coba cermati baik-baik potong koran pada gambar di bawah ini.

1. Apakah yang terlintas dalam pikiran kalian mengenai koran yang terbit pada masa Hindia Belanda?
2. Bahasa apakah yang digunakan dalam koran itu?

Koran di era itu mempunyai makna yang strategis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Koran dapat memuat ide-ide pembaruan, ide-ide nasionalisme sehingga bisa menggelorakan semangat kebangsaan pada setiap jiwa rakyat Indonesia. Pada uraian di bawah ini kita akan mengkaji mengenai tumbuhnya ruh kebangsaan Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peran pers, juga adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan sudah tentu sangat terkait dengan bagaimana kebijakan Pemerintah Belanda .
Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme

Memahami Teks

1. Politik Etis

Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan pada wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melaksanakan perjanjian- perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka lalu dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.

Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu memperoleh kritik dari politikus dan intelektual di Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids (1899).


Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda sudah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan mendapat keuntungan yang besar. Kritikan itu mendapat perhatian dari bermacam-macam kalangan, beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia wajib dikembalikan. Untuk itulah perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui bermacam-macam bidang kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus pemerintahan. Kritik-kritik itu memperoleh perhatian serius dari pemerintah Belanda. Ratu Wilhelmina lalu mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.

Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar pada perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan bermacam-macam kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.

Di samping itu pemerintah juga melaksanakan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera. Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang adalah inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.

Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Van Deventer
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang untuk mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang lalu memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra wajib mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau apa pun sebab mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan anggapan mengenai dunia, Hindia, dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga itu.

Dapatkah kalian jelaskan mengapa pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik etis di tanah jajahan? Tahukah kalian bagaimana pengaruh pendidikan pada masyarakat Hindia Belanda? Coba lakukan pelacakan kemudian buatlah uraian mengenai pengaruh pendidikan pada kaum Pribumi di Hindia Belanda dalam bentuk narasi deskriptif. Untuk mengerjakan tugas ini kalian dapat membaca buku- buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah. Dapat juga kamu mencari informasi melalui internet lalu kamu cari buku yang dirujuk itu sebagai bahan referensi dalam membuat tulisan sejarah Pers Membawa Kemajuan

2. Pers Membawa Kemajuan

Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) tentang isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup.

Pers adalah sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dasawarsa itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan lalu kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.

Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.

Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar- komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya seorang Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).

Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak memudahkan kaum terdidik untuk mendapat informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga sudah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah Insulinde itu disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia maju”. Ulasan mengenai perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja memuat artikel mengenai bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat mengenai berita Asia dan Eropa.

Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan- tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat mengenai “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.

Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu dia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum berusia tua dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang memiliki tujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud saat para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012).

Beberapa surat kabar yang lalu membawa kemajuan untuk kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji ( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat mengenai tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan sebab mereka bersatu”. Dia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi mengenai panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) untuk anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.

Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat mengenai perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi-tingginya. Koran itu memuat dua hal penting, yaitu mengenai “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang memiliki keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dll. Bangsawan pikiran adalah mereka yang memiliki gelar meester, dokter, dsb, yang diperoleh melalui pendidikan.

Surat kabar yang paling memperoleh perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide- ide radikal dan kritis pada sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.

Kritik tajam yang ditujuan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ( Seandainya Saya Menjadi Seorang Belanda). Pemerintah Kolonial menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Adbul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto mulanya diasingkan ke Bangka, lalu ke Belanda.

Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Dia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya tentang haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai fasilitas untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah dia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam pada program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.

Pers (media cetak) memiliki peran penting dalam membangkitkan nasionalisme. Kapan media cetak mulai dikenal oleh kalangan bumiputera? Tahukah kamu, bagaimana hubungan media cetak dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan untuk kaum bumiputera? Media cetak apakah yang saat ini dapat ditemui di lingkungan sekitar kamu? Coba lakukan pelacakan mengenai media cetak sebelumnya yang pernah ada di daerah sekitar kamu, lalu buatlah uraian dalam bentuk narasi deskriptif, siapa penerbitnya, kapan diterbitkan, bagaimana bahasanya. Untuk mengerjakan tugas ini kalian dapat mencari diinternet atau di perpustakaan daerah di kota tempat tinggal kamu, dapat juga minta pertolongan guru di sekolah.

3. Modernisme dan Reformasi Islam

Semangat kebangkitan juga disorong oleh gerakan modernis Islam. Semangat modernisme itu berlandaskan pada pencarian nilai-nilai yang mengarah pada kemajuan dan pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik dan budaya. Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni.

Gerakan femormasi Islam sudah dirintis di Sumatera Barat pada abad ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan bermacam-macam daerah lainnya. Jika pada abad ke-19, gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah mereka. Pada awal abad ke-20, empat ulama muda 152

Minangkabau kembali dari menuntut ilmu di Mekah. Mereka adalah Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek (1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899). Mereka adalah siswa Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru. Berbekal ilmu pengetahuannya itu mereka merancang perubahan di Minangkabau.

Perintis pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imam adalah sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imam juga memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Tokoh yang lalu muncul adalah H. Abdullah Akhmad yang memperoleh pendidikan di Mekah, selanjutnya mendirikan sekolah dasar di Padang (1909). Dia mendirikan majalah Al-Munir yang menjebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Modernisme dan Reformasi Islam
hamka

Di Padang Panjang, Haji Abdul Karim Amrullah mulai menumbuhkan kesadaran akan perlunya perubahan metode pengajaran dan sistem pendidikan tradisonal menjadi lebih modern seperti sekolah Belanda. Sementara itu, berdiri pula Sekolah Diniyah di Padang (1915). Pendirinya adalah Zainuddin Labai. Sekolah itu memberikan pengajaran umum. Sekolah itu adalah sekolah agama modern. Tahun1923, Rahmah, adik Zainuddin Labai mendirikan Sekolah Diniyah Puteri. Sekolah itu merupakan sekolah agama putri pertama di Indonesia. Berdirinya sekolah putri di tanah Minangkabau membuktikan bahwa sistem matrilinial yang berlaku dalam tradisi kekerabatan Minangkabau memiliki pengaruh positif terhadap kemajuan kaum perempuan.

KESIMPULAN

Sistem pemerintahan kolonial yang ingin mencapai misinya dengan Pax Neerlandica di seluruh daerah yang menghasilkan pajak. Untuk melakukan hal itu dilakukan kebijakan baru dengan bantuan pemerintah pribumi untuk memberlakukan sistem pajak baru dan sistem kerja paksa. Kebijakan itu memperoleh perlawanan dari Raja/ Sultan di tanah Hindia.

Kritis keras muncul dari politikus dan intelektual Belanda C.H.Van Deventer, pada sistem pemerintahan kolonial saat itu. Kritik itu mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan politik etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, pertanian dan emigrasi.

Bidang pendidikan membuka wawasan untuk kaum muda terpelajar. Mereka adalah golongan baru yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi adalah hal penting yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu ideologi kebangsaan.

Bidang pendidikan pula yang mendorong perubahan sosial masyarakat saat itu, melalui pendidikan tidak saja menciptakan tenaga-tenaga profesional, akan tetapi juga mendorong gerakan kebangsaan

LATIH UJI KOMPETENSI

  1. Mengapa pemerintah Hindia Belanda melaksanakan berubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintah tradisonal ke sistem pemerintahan birokrasi kolonial? Jelaskan!
  2. Bagaimana menurut pendapat kalian dengan sistem pemerintahan saat ini? Buatlah penjelasan empiris dalam bentuk esai kurang lebih sebanyak dua halaman folio!
  3. Mengapa pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijakan Politik Etis. Bagaimana akibatnya pada masyarakat Hindia Belanda? Jelaskan jawaban kalian dan berikan bukti-buktinya yang hingga saat ini masih dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari!
  4. Jelaskan hubungan pendidikan dan media cetak dalam membangun kesadaran kebangsaan. Bandingkan dengan peranan media cetak yang saat ini berkembang di tanah air!
  5. Jelaskan peran wartawan dalam membangun semangat kebangsaan!


Tugas

  1. Akhir-akhir ini kita kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gula pasir bagi masyarakat, untuk mencukupi itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah mengimport gula pasir. Coba Kamu jelaskan mengapa kita sampai kekurangan gula pasir? Bagaimana dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada kerja paksa untuk menanam tebu?
  2. Buatlah penjelasan Kamu itu dengan mencari buku-buku bacaan di perpustakaan daerah, atau juga melalui koran-koran lama yang dapat dicari di perpustakaan nasional, atau Kamu dapat mengakses internet untuk melacak lebih lanjut buku-buku, atau sumber-sumber bacaan yang diperlukan!
  3. Buatlah dalam bentuk esai kurang lebih 5 – 8 halaman!
  4. Tulislah keterangan buku-buku, koran-koran, majalah-majalah, dan sumber-sumber lain yang Kamu kutip dalam daftar pustaka! 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.